Senyum Ramah Sisilia

9:31 AM

Kisah The Godfather dari novel karya Mario Puzo yang sangat identik dengan kisah mafia namun sarat dengan nilai-nilai kekeluargaan itu membuat saya penasaran dengan Sisilia. Daerah ini bahkan disebut-sebut oleh Goethe (seorang novelis, sastrawan, humanis, ilmuwan, dan filsuf Jerman) sebagai intisari Italia. “Melihat Italia tanpa melihat Sisilia, sama saja tidak melihat Italia sama sekali. Sebab, Sisilia adalah petunjuk bagi segalanya,” kata Goethe tentang kepulauan terbesar di Laut Mediterania itu.

Saya sungguh menikmati pengalaman memandangi hamparan padang rumput yang luas dihiasi batu-batu besar selama perjalanan mengunjungi kota-kota di Sisilia. Terutama karena beberapa di antaranya memiliki kisah lain selain yang berhubungan dengan kisah The Godfather. Perjumpaan dengan penduduk lokal yang ramah dan jauh dari kesan mafia, menyaksikan sisa-sisa kejayaan Romawi di masa lampau yang bersanding dengan peninggalan bangsa lain yang juga pernah berjaya di sana, cuaca yang bersahabat, serta menikmati makanan khas lokal yang lezat. Sisilia memang layak menjadi penutup bab perjalanan menjelajahi Italia dengan sempurna.

Pagi pertama di Sisilia saya awali dengan bergegas menuju Teatro Massimo Vittorio Emanuele, sebuah teater dan gedung opera terbesar di Italia yang dibangun selama 20 tahun sejak tahun 1897 sebagai persembahan untuk Raja Victor Emanuel II. Salah satu adegan memilukan dari film The Godfather (1972) berlokasi di sini, yaitu saat Michael Corleone kehilangan anak perempuannya tepat di tangga depan teater itu. Cukup lama saya berdiri di depan teater dan suasana mendadak menjadi ramai. Ternyata hari itu bertepatan dengan aksi unjuk rasa mahasiswa yang berasal dari kota-kota kecil di sekitar Palermo yang menuntut perubahan aturan tunjangan dan fasilitas dari pemerintah. Kabarnya, sekitar 5.000 orang memadati kota hari itu, jalanan utama kota terblokir, membuat kami harus memarkir kendaraan agak jauh.

Unjuk rasa berjalan dengan damai sehingga saya dan suami mengikuti para pengunjuk rasa berjalan kaki untuk menembus ke lokasi tempat makan siang di kafe dekat Gereja San Domenico. Seolah bisa membaca pikiran, seorang pengamen jalanan menghampiri meja kami dan memainkan lagu Speak Softly Love yang merupakan soundtrack film The Godfather yang identik dengan alunan akordeonnya. Kami pun menikmati fettucini carbonara dan pizza sambil meresapi lagu itu. Setelah makan siang, kami kembali ke tempat parkir dan meneruskan perjalanan melewati lalu lintas Palermo yang cukup menantang melebihi yang pernah saya alami di Paris. Sempat terlihat beberapa kendaraan yang saling pepet dengan kaca spion yang hampir lepas. Untungnya saya berasal dari Jakarta, jadi tidak canggung dan dapat lolos dengan baik dari situasi semacam itu.

Setelah berkendara kurang lebih selama satu jam, saya sampai di  Corleone. Rasanya sedikit berdebar ketika masuk ke kota yang merupakan tempat kelahiran beberapa pemimpin mafia betulan yang berpengaruh di Sisilia. Banyak mafia di New York dan New Jersey di Amerika Serikat yang juga berasal dari sini. Nama tokoh sentral, Don Corleone, dalam The Godfather pun diambil dari sini dan sering diasosiasikan dengan klan mafia yang sangat berkuasa, yaitu Corleonesi. Sebenarnya, kota ini tidak dijadikan lokasi pengambilan gambar film karena tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Apalagi, Corleone juga terbilang sudah cukup modern sehingga kurang sesuai dengan setting yang dibutuhkan.

Hari menjelang sore dan saya melanjutkan perjalanan dengan berkendara selama 3 jam untuk beristirahat di Catania. Ketika sampai di penginapan, kami disambut dengan ramah. Petugas yang menerima kami menyadari bahwa saya sedang hamil 6 bulan dan dengan segera menawarkan upgrade kamar tanpa tambahan biaya. Pelayanan yang sangat menyenangkan dari hotel, sehingga saya pun dapat beristirahat dengan nyaman setelah perjalanan dengan mobil yang cukup panjang.

Paginya kami menyantap sarapan pagi di restoran hotel dan berkesempatan untuk memandangi Etna, gunung berapi yang masih aktif dan tertinggi di Eropa. Rupanya, pertanian lokal, termasuk juga ladang anggur yang menghasilkan wine terbaik di daerah itu, sangat bergantung pada tanah vulkanik di sekitar Gunung Etna. Cuaca cerah sangat mendukung pagi itu sehingga kami dapat menikmati pemandangan yang cantik dengan jelas tanpa terhalang awan. Sarapan pagi itu pun terasa sangat istimewa dengan sajian makanan khas Sisilia, seperti arancini dan cannolo. Untuk pertama kalinya saya dapat mencicipi secara langsung makanan Sisilia yang sering dikatakan memiliki rasa terbaik di Mediterania dan terkenal di seluruh dunia karena kelezatannya.

Selesai sarapan, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa landmark kota ini, seperti Teatro Romano dan Castello Ursino, serta mampir ke pasar yang terletak di dekat Fontana dell’Elefante. GPS sempat mengecoh rute jalan kaki dan membuat saya mengira tempat yang dimaksud adalah air mancur yang berada di sebuah taman. Saya sempat berjalan keliling taman dan mencari patung gajah lengkap dengan air mancur besar. Tidak puas dengan hasilnya, saya pun kembali berjalan ke pusat kota untuk membeli suvenir dan menanyakan kepada pemilik toko lokasi Fontana dell’Elefante itu. Ternyata, air mancur yang dimaksud tidak sebesar yang saya bayangkan. Ukurannya justru mini. Gajah yang terbuat dari lava hitam ini merupakan simbol Catania yang menurut legenda dipilih karena dulunya daerah ini dihuni oleh gajah pigmy yang melindungi penduduk kota dari serangan binatang buas.

Hari  makin siang, saya pun melanjutkan perjalanan dengan berkendara selama 45 menit ke Taormina yang banyak digunakan untuk pengambilan gambar film The Godfather yang disutradarai Francis Ford Coppola itu. Saya mencari titik yang tinggi untuk melihat secara menyeluruh Taormina yang diyakini sebagai kota terindah di Sisilia. Pilihannya jatuh ke Teatro Greco yang ada di atas sebuah bukit. Bangunan ini dulunya digunakan untuk pertunjukan teater dan konser. Dari sana saya bisa melihat Taormina dari ketinggian sekaligus meresapi sejarah masa silam ketika Yunani berjaya di Sisilia.

Pemandangan indah yang ada di tempat itu membuat saya tetap bersemangat untuk menaiki tangga-tangga yang ada, walaupun dengan perut besar. Turis lain banyak yang melihat ke arah saya. Mereka penasaran dan bertanya menggunakan isyarat dengan tangan, menanyakan apakah saya sedang hamil. Saya mengangguk dan tersenyum. Mungkin bagi mereka wanita Asia yang hamil dan naik-naik tangga adalah pemandangan yang tidak biasa. Entah karena suasana atau karena penasaran dengan apa yang akan saya temukan di puncak bangunan, tapi rasanya saat itu saya sangat bersemangat dan tidak merasa capek. Usaha saya pun tidak sia-sia karena dari puncak saya dapat melihat pemandangan indah kota di pinggir laut dikelilingi bukit yang masih hijau.

Sore datang begitu cepat hari itu. Sebenarnya kota terakhir dari perjalanan tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh hanya dalam waktu 30 menit. Namun ternyata, medan yang harus dihadapi sedikit di luar dugaan. Kami harus berkendara melewati jalan berkelok-kelok yang menanjak dan agak curam karena Savoca terletak di atas bukit.





You Might Also Like

0 comments

Lisensi Creative Commons All rights reserved

Semua foto dan konten di blog ini ©2009-2017 dibuat oleh @ratihjanis kecuali disebutkan lain | Untuk menggunakan foto dan konten tersebut silakan minta izin dengan menghubungi ✉ ratihjanis@gmail.com